Minggu, 19 Januari 2014

MOLENVLIET




 1910
MOLENVLIET FRONTS OF  DES INDES HOTEL GATES - BATAVIA


1870 - 1900
MOLENVIET BETWEEN NOORDWIJK AND RIJSKWIJK - BATAVIA

1875 - 1885
MOLENVLIET AROUND BATAVIA 
PHOTOS BY : WOODBURY & PAGE


1925 - 1940 
WASHING CLOTHES ALONG MOLENVLIET - BATAVIA
PHOTOS BY : POLYGOON PHOTO STUDIOS 

SOURCE : http://luk.staff.ugm.ac.id/itd/Batavia/06.html/

GEDUNG HARMONIE - BATAVIA



1870 - 1900
GEDUNG HARMONIE DI TEPI MOLENVLIET - BATAVIA
1905
GEDUNG HARMONIE - BATAVIA

1870 - 1900 
BAGIAN DALAM GEDUNG HARMONIE - BATAVIA



  1890 - 1920
GEDUNG HARMONIE DI TEPI MOLENVLIET  DAN TUKANG JAHIT OGER FRERES - BATAVIA

 1857 - 1872 
GEDUNG HARMONIE DI TEPI MOLENVLIET  DAN TUKANG JAHIT OGER FRERES - BATAVIA
JURU FOTO :WOODBURY  PAGE STUDIOS

Persimpangan jalan Molenvliet dan Tanah Abang di Batavia, sekitar 1875. Zaman sekarang, kesunyian seperti tampak dalam foto ini hampir tidak terbayangkan pada lokasi di tengah kota metropolitan Jakarta ini, di sekitar persimpangan Jalan Gajah Mada, nama sekarang untuk Molenvliet, dan Tanah Abang. Di bagian depan sebelah kanan terlihat rel trem kuda milik Bataviaasche Tramweg Maatschappij (Perusahaan Trem Batavia). Di sebelah kiri kami melihat gedung Sositet De Harmonie (Harmoni) yang dibuka secara resmi pada tahun 1815. Gedung ini dibongkar pada tahun 1985 karena mengganggu arus lalu lintas. Sebelah kanan terlihat gedung tukang jahit Oger Frères. 

 1872 - 1900
GEDUNG HARMONIE BERDEKATAN DENGAN TUKANG JAHIT OGER FRERES - BATAVIA


1870 
GEDUNG HARMONIE - BATAVIA
JURU FOTO : ISIDORE VAN KINSBERGEN (1821- 1905)


sumber : http://luk.staff.ugm.ac.id/itd/Batavia/06.html/ 

BENTENG FREDERIK HENDRIK DAN TAMAN WILHEMINA

BENTENG FREDERIK HENDRIK DAN TAMAN WILHEMINA




Garis pertahanan Van Den Bosch yang mempunyai hubungan dengan Benteng Frederik Hendrik yang terletak di tengah – tengah Taman Wilhemina, tempat berdirinya Masjid Istiqlal sekarang. Benteng Frederik Hendrik dibangun pada tahun 1834, juga oleh Gubernur Jenderal van den bosch. Kabarnya dari benteng tua yang sudah lama dibongkar ini ada terowongan bawah tanah menuju Pasar Ikan. Bayangkan betapa panjangnya terowongan itu. Diatas benteng Frederik Hendrik dipasang sebuah lonceng besar yang meski sudah tua tetapi berjalan baik itu berada di bawah penilikan took arloji milik Belanda di Rijswijk. “Van Arken” nama toko itu.

Dijaman penjajahan Belanda benteng Frederik Hendrik siang dan malam selalu dijaga oleh tentara. Dari benteng ini tiap pukul 05.00 dan 20.00 selalu terdengar bunyi meriam. Maksud tembakan itu hanya sebagai tanda yang ditujukan bagi kalangan tentara saja.

Wilhemina Park, di tempat masjid Istiqlal sekarang, sebelumnya adalah taman yang sangat luas dan indah. Banyak pepohonan yang rindang di dalamnya. Sungai Ciliwung yang mengalir ketika itu airnya masih sangat jernih. Beberapa jembatan yang bagus dibuat, menghubungkan kedua tepi sungai. Banyak orang datang dan duduk –duduk di bawah naungan kerimbunan pepohonan. Orang pribumi menamakan Wilhemina Park dengan Gedung Tanah. Mungkin karena benteng Frederik Hendrik ada di tengah – tengahnya.



Untuk memperingati serdadu Belanda yang tewas dalam perang Aceh, di taman ini pernah berdiri sebuah monument namanya “Atjeh Monument”. Ternyata orang- orang Belanda sangat menyukai taman di dalam kota. Berikut ini adalah sebagian dari taman –taman tersebut. Fromberg Park di lapangan Monas sebelah timur laut. Agak di sebelah baratnya adalah Vondel Park. Disebelah baratnya lagi, berhadapan dengan Istana Merdeka, Deca Park. Plantsoen van Heutsz Boulevard sekarang bernama Taman Cut Meutia. Taman Suropati di seberang Gedung Bappenas dulu bernama Burgemeester Bisschoplein, sedang Taman Pejambon tadinya Hertogs Park.

Sumber : Jakarta Tempo Doeloe - 1989
Foto : Google.com dan Wikipedia.com



MOLENVLIET

MOLENVLIET
(JL. HAYAM WURUK – JL. GAJAH MADA)

Molenvliet adalah kanal yang digali pada tahun 1648 oleh Kapten Cina, Phoa Bing Am, untuk menghanyutkan kayu bakar dan lain – lain dari daerah “dekat hutan” ( disekar bekas gedung Harmoni) ke kota. Penggaliannya dimulai dari Harmoni dan berakhir di pos keamanan “Bantenburg” yang letaknya kira – kira di depan Gedung Glodok sekarang.

Pada waktu itu di sekitar lapangan Glodok terdapat banyak kincir pembuat mesiu , kertas dan lain – lain. Setelah digalinya Molenvliet, di sepanjang  kedua tepinya, dari utara ke selatan, bermunculah gedung- gedung indah. Diantaranya gedung Arsip Nasional sekarang. Kearah selatan lagi berdiri gedung Weeskamer ( Balai Harta Peninggalan). Weeskamer ini tadinya juga bernama “Berendregt”, mengingatkan orang pada nama jalan “Berendrechtlaan” (sekarang Batu ceper). Dibagian selatan Molenvliet , sebagaimana telah disebutkan terdapat pos keamanan “ Rijswijk”. Agak dibelakang “Rijswijk”, di dekat pabrik es petojo, ada dua pos penjagaan bernama “Apenwacht” atau “Jaga Monyet”. Rupanya inilah yang menyebabkan daerah itu sering disebut Jaga Monyet.

Dar di pos “Rijswijk” ada jalan menuju timur, ke arah pos “Noordwijk” di Pintu Air. Jalan ini mula – mula disebut “Jalan menuju ke Noordwijk”, tetapi kemudian sejak pemerintahan Inggris dinamakan “Noordwijk” saja. Sekarang jalan tersebut bernama Ir.H.Juanda. Jalan disamping Noordwijk pada waktu itu belum dikeraskan, tetapi disepanjang tepinya sudah banyak berdiri gedung- gedung yang bagus. Kanal yang diapit oleh jalan Noordwijk dan Rijswijk (Jalan Veteran) digali oleh Belanda untuk menghubungkan Molenvliet dengan kali Ciliwung. Maksudnya bukanlah untuk meningkatkan lalulintas diatas kanal –kanal itu, melainkan untuk member kekuatan agar air kanal Molenvliet dapat lebih deras lagi mengalir sehubungan dengan adanya kincir Kompeni yang dijalankan oleh kekuatan air di dekat Glodok.


Pos Noordwijk sebenarnya didirikan untuk mengawasi hewan ternak di padang rumput milik tuan tanah Anthony Pavilijoen. Padang rumput itu dinamakan “Pavilijoenveld”, letaknya kira- kira di Lapangan Banteng sekarang.

sumber : Jakarta Tempo Doeloe - 1989

Jumat, 03 Januari 2014

LANDHUIS KROEKOET

“AMAZING AND FUNTASTIC!!”
Kata yang bisa saya ungkapkan untuk menggambarkan gedung yang saat ini masih tegak berdiri di antara himpitan pembangunan hotel modern, yaitu Hotel Novotel Gajah Mada. Begitu lengkap sesuai dengan kondisi aslinya, Gedung Chandranaya yang terlihat kental sekali dengan bangunan Tionghoa  ini tak hanya terawat, namun juga tetap dipergunakan untuk berbagai kegiatan!


Gedung Chandra Naya yang berlokasi di Jalan Gajah Mada No.118 Jakarta Pusat ini pada awalnya diberi nama Landhuis Kroekoet ini, didirikan oleh keluarga Khouw, yaitu Khouw Tian Sek sekitar tahun 1807. Lalu diteruskan kepada turunannya, Khouw Kim An yang juga seorang pemimpin masyarakat china (Majoor de Chineezen) yang diangkat oleh Belanda semasa 1910 – 1916 dan 1927 – 1942.

   
“Bernilai seni tinggi”
Secara arsitektur dan pernik interior – ornamen kecapi, papan catur, lukisan – Candra Naya memang menunjukkan pemiliknya adalah cendekiawan kaya raya yang menghargai ilmu pengetahuan dan seni. Ornemen gedung berlantai marmer ini dirancang dengan sentuhan mewah kayu hitam bercat warna emas bernilai seni tinggi.


        “Tou-Kung – Pa-Kua”
Jika melihat dari luar, terlihat struktur atap gedung Chandra Naya yang melengkung bergaya Cina disebut sebagai “Tou-Kung” yang menggambarkan status sosial penghuninya. Beberapa ornamen  yang menempel pada gedung Chandra Naya seperti “Pa- Kua” berupa pengetuk pintu berbentuk segi delapan mengartikan sebagai penolak bala, lalu hiasan berupa jamur linchi pada pintu masuk utama yang melambangkan umur panjang.


Suasana sekitar Candra Naya memang tak lagi seperti dulu. Setidaknya, kita masih menemui jejak kejayaan masa silam, jejak imigran Cina daratan yang semula datang ke Tegal lalu hijrah ke Batavia, dan hanya dalam satu generasi berhasil meningkatkan taraf hidup menjadi kaya raya.

Sumber : Google.com - wikipedia.com - blogspot.com

Minggu, 10 November 2013

RUMAH ABU DI JAKARTA

 THE ASH HOUSE


 “Histories ,Praying , Nostalgia”


The words that I can say about The Ash House.The house that was  built since the end of 19th century is used as the saving place of  The ashes of Chinese people who passed away  and already been cremation process. The Ashes which kept there  must be come from the same surname. The Ash House also built as the place for keeping relationships of Chinese people especially for the same surname.

“With striking color and Chinese traditional style are the symbols of The Ash House”Among of buildings and houses, The Ash House has unique symbols from the structure that used Chinese traditional styles with striking color around the house sides. The reasons of making the Ash house with those symbols are giving different impressions to  everyone who sees The Ash House, also guidance for family if they want visit Ash House as well for praying, meeting with another family with the same surname also nostalgia about their family histories.


The Ash House will be crowded of people when one of their family  is passing away. The family will do some special rituals after cremation process then put the ash into a special jar. The rituals are praying during first 7 days, 7 days at second time then continue with a year and 2 years of praying. The aim  of those rituals are sending best prayers for their family who passed away as for the best at the afterlife.




Don’t worry if you want to visit and feeling different of historical explorations, there are many Ash Houses in Jakarta. One of them are in Pinangsia Street No.3 The Ash House of Tan Family Name or The Ash House of Nio/ Liong , Nio Sie Tjiong Se  across of Beos Railway Stations. When you visit The Ash House, you will invited to see  around the House. Starting from the praying place, then going to see the Family Photos. After that you will be explained of the family ancestral which display on the walls. Yup, not all of The Ash Houses are opened to public because they don’t want everyone comes to their Ash House even though just sightseeing, only family with same surname is allowed to visit. 


Beside praying, the Chinese family with same surname periodically gathered together for keeping relationship among them. Sometimes they organize performing arts that supported by local associations. Finally The Ashes Houses give another  histories of Jakarta as well inform us about our nation cultures that must be keep all the time.





Created by: Handoko Dwi

Reference : Book of Wisata Kota Tua Jakarta

Photos : Google.com / budaya-tionghoa.net

Sabtu, 09 November 2013

KOTA INTAN DRAWBRIDGE


The famous bridge in Jakarta Old Town area. Formerly the bridge was connecting between the elite area and the market area which known as  Chicken  market bridge area / jembatan pasar ayam. The bridge also connected between Dutch fortress (VOC) and England fortress ( IEC). Once  Kota Intan bridge would automatic open when the ships were passing the canal under the bridge. The ships which passing the canal are coming from another areas outside Batavia and those ships brought spices also  various materials which stopped first at Sunda Kelapa Harbor then entered Batavia City.


 "Having more than one name is the unique things of Kota Intan Draw Bridge"
We turning back to histories, before the name becomes Kota Intan draw bridge, there are  3 other names  given for the bridge that each of names  had self historical. Well, The first name was Chicken market bridge. The reason why the bridge called as chicken market was the location of the bridge nears to the  market which exist there. Actually the market consisted of sellers that sell many kind of daily need things but most of them are chicken sellers. Cause of crowded activities of people which also passed the bridge everytime. Local people finally   named the bridge as Chicken Market Bridge or Jembatan Pasar Ayam in bahasa.

 The second name was  England bridge, why named it as England bridge? Because there were lots of England people who lived near to the bridge area. It made local people named the bridge from Chicken market to England bridge.





The third name was  Juliana Bridge. Who  was Juliana? She was the queen from Dutch who always passing the bridge for enjoying the views of canal and surroundings. Queen Juliana always did that every morning and the other reason was her behavior that really kindly to the people around bridge, giving nice smile and say halo to the local people who lived around the bridge. That’s why local people named the bridge as Juliana Bridge as an honour for the beautiful behavior of the Queen Juliana.




The last one ‘til now is Kota Intan drawbridge. In English is the bridge of the diamond city. The means of diamond city was Batavia. Formerly Batavia had fortress in every sides as proctected functions from any enemies outside of Batavia. The rumors  said that  under of each fortress there was diamond, that’s why finally the bridge named as Kota Intan Drawbridge. The other version of Kota Intan refers to the location of the bridge nears to the Batavia Bastion Castle or known as Bastion Diamont.

If you pay attentions with the bridge’s color is red. The ‘red’ also means something that if we back to the stories, areas of Kota Intan Drawbridge was the place of Chinese’s lived. They thought that red color describes of luck symbol and the color of victory.


Created by : My Self

Pictures : Google.com